Senin, 31 Januari 2011

Ganti nama

Ada banyak alasan seseorang mengganti namanya. Pada saat saya menjalani transplantasi ginjal di negeri China, selama dua minggu nama saya diganti seperti masyarakat China kebanyakan. Saya lupa nama pemberian sementara itu. Pemberian nama itu gara-gara komputer di rumah sakit itu tak memiliki huruf Latin. Saya cukup senang diberi nama baru. Seingat saya arti nama pemberian itu mengandung makna yang baik.
Dor, dor
Ada seorang sosialita yang berganti nama dari yang beraroma lokal dan sederhana menjadi kebarat-baratan. Saya tak tahu alasannya mengapa. Bisa jadi lebih kepada menyesuaikan dengan lingkungan atau gaya hidupnya. Bisa jadi juga karena malu kalau namanya tak memberi gengsi apa pun di antara sesama sosialita.
Beberapa orang yang saya kenal namanya berganti karena mendapat gelar kebangsawanan atas jasa-jasanya atau usahanya yang bersifat positif. Pemberian ini acap kali mengubah cara pandang manusia di sekitarnya dan yang bersangkutan.
Bisa menjadi rendah hati, tetapi bisa juga jadi tinggi hati. Perubahan ini yang selalu membuat saya mendapat peringatan. ”Mas, gelar saya jangan lupa ditulis ya.” Atau, ”Mas, nanti kalau memanggil saya untuk maju ke depan, mohon nama saya disebut demikian ya.”
Saya sangat mengerti karena kalau diberikan gelar, memang pasti karena sebuah sumbangsih dan sudah wajar sekali sebagai manusia, penghargaan itu selalu ingin ditampilkan ke depan. Supaya orang lain tahu. Karena, itu tak hanya berefek psikologis, tetapi juga berefek pada kemudahan untuk mendapatkan fasilitas. Yaaa... kalau berefek pada gengsi, sudah pasti bisa dimengerti.
Saya tak tahu apakah ada orang berganti nama karena namanya sama seperti nama binatang peliharaan. Beberapa kali saya menyaksikan film Hollywood, nama anjingnya sama dengan nama pendek saya, Sam. Saya dulu berpikir, manusia itu memang paling jago. Anjing mau disamakan dengan manusia, manusianya sendiri malah sudah playing God.
Tapi, kalau anjing dipanggil namanya sesuai dengan jenisnya, yaa... mungkin juga tak semuanya menjadi enak didengar. Misalnya saya punya anjing Labrador. Yaaa... mosok dipanggil dor dor atau lab lab, yang tragis bra bra.
Satu hal yang tak saya ketahui, apakah seseorang berganti nama karena nama pemberian sejak lahirnya tak mengandung arti apa-apa, atau pemberian namanya malah terlalu berat, seperti nama sebuah perusahaan PT Raja Makmur Sejahtera Sukses Sentosa Abadi Internasional, misalnya.
Bok, bok
Nama seberat itu hanya punya satu tujuan agar hidup perusahaan bakal sejahtera selalu, sehat selalu, kaya selalu, rukun selalu. Padahal, manusia sendiri tahu tak ada seorang pun yang bisa mendapat atau memiliki semuanya di dunia ini. Tetapi, toh... tetap kekeuh. Yaah... itu mengapa disebut manusia. Ada juga yang memberi nama anaknya dengan arti yang indah supaya pada masa mendatang bisa menjadi contoh yang baik bagi sesamanya dengan menggunakan nama yang rumit dan terdengar aneh.
Baiklah, saya tak mau memperpanjang sejuta alasan mengapa manusia berganti nama. Tetapi, buat saya nama itu memang penting karena merupakan identitas. Tetapi, masalahnya, ganti nama atau tidak, tabiat yang ditunjukkan dalam hidup sehari-hari itu mungkin yang lebih penting. Saya saja contohnya. Pada suatu sore, teman saya bilang begini. Kamu itu adalah angel with a devil heart.
Saya tak protes karena bisa jadi itu sesuai dengan tabiat yang sehari-hari saya tunjukkan. Kalimat itu dalam artinya. Samuel dan Mulia adalah nama yang indah, apalagi nama tengah saya Budiawan. Ini lebih memalukan lagi karena bertahun lamanya saya itu manusia yang tak berbudi, bahkan sampai sekarang ini. Itu mengapa teman saya pada suatu sore itu masih bisa mengatakan kalimat dahsyat yang bisa menggambarkan saya yang sesungguhnya.
Saya mungkin bisa mengoceh sejuta menit untuk memberi tips dan wejangan yang mulia. Tapi, secantik apa pun nama saya, semulia apa pun arti nama saya, seindah apa pun nama panggilan saya, manusia itu akan mengingat perilaku yang saya perbuat dalam hidup ini.
Mungkin saya perlu ganti nama supaya tak memalukan diri saya sendiri dan terutama keluarga saya. Kemudian nurani saya bicara. ”Bener. Bener banget. Elo mending ganti nama aja deh.”
Suara dari dalam itu masih melanjutkan nyanyiannya. ”Usul. Nama elo itu lebih baik tidak mengandung arti apa-apa. Bukan diambil dari nama manusia. Jadi, risikonya enggak ada. Misalnya, Tembok. Jadi elo dipanggilnya bok, bok... itu kan istilah yang sering elo gunain. Atau bisa dipanggil, Tem, Tem. Keren kan?”
(Sumber: KOMPAS, 30-1-2011 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.