Sukardi Rinakit


Memalingkan Muka
 
Seorang pengusaha, Arifin Panigoro, mengatakan, saat ini republik ini sedang menuju jurang pragmatisme. Ia menjadi ideologi. Saya termangu mendengarnya. Terlebih ketika mengingat terjangan bencana di Wasior, Mentawai, kawasan Gunung Merapi, dan mencuatnya fakta bahwa terdakwa kasus mafia hukum Gayus HP Tambunan ternyata memang berlibur ke Bali.
Untuk yang terakhir itu, bencana hukum terjadi di Republik. Elite berkhianat pada konstitusi yang dengan tegas menyatakan, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum. Pengkhianatan itu hanya mempunyai satu makna, yakni kebanyakan elite kita pada dasarnya memang miskin keluhuran budi.
Adagium berpolitik sebagai pengorbanan demi bangsa dan negara tampaknya mulai digilas kepentingan pribadi jangka pendek dan dangkal. Itulah gambaran besar Indonesia masa kini. Ranah politik bukan lagi sebagai arena kontestasi guna melahirkan kebijakan yang menyejahterakan rakyat, tetapi sekadar medan pertempuran untuk mengejar dan mempertahankan kekuasaan. Selain itu juga muncul kesan kuat, elite telah terjangkit virus ”demokrasi uang”. Mereka hanya berpikir soal return dari investasi yang telah mereka tanam.
Berpolitik untuk rakyat?
Jika elite politik sudah memanggul pragmatisme sebagai ideologi, yang sumbernya adalah demokrasi uang (kemenangan ditentukan oleh insentif uang dan bukan nilai kebajikan), praktik politik dan bisnis di Tanah Air secara otomatis menjauh dari cita-cita Proklamasi. Dalam konteks ini, bangsa bukan lagi sebagai kekuatan bersama untuk menghadapi dominasi asing, melindungi tapal batas, dan mewujudkan kemakmuran bersama, tetapi menjadi personifikasi dari avonturisme dan kepentingan sempit para elite.
Dari ranah legislatif, muncul pragmatisme yang sebagiannya tecermin dari tuntutan mereka untuk mendapatkan dana aspirasi, pembangunan gedung, renovasi dan tunjangan perumahan, kunjungan ke luar negeri, dan lain-lain. Kritik dan ketidaksetujuan masyarakat atas program itu sering kali diabaikan. Tanggapan serius dari anggota Dewan baru akan muncul manakala tekanan masyarakat menjadi semakin intensif dan keras. Pada sisi lain, penyelesaian undang-undang yang sudah diagendakan realisasinya jauh di bawah target yang telah ditentukan.
Dari sisi eksekutif, ketegasan dalam kepemimpinan juga belum menonjol. Banyak kasus cenderung berlarut-larut penyelesaiannya sehingga justru menimbulkan ketidakpastian di hati publik. Kasus Gayus HP Tambunan, kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi, dan penganiayaan aktivis antikorupsi Tama Satria Langkun, untuk menyebut beberapa contoh, membuat kegalauan di hati publik mengkristal. Di sisi lain, kinerja ekonomi makro yang membaik dan mekarnya optimisme pelaku usaha belum diikuti secara signifikan dengan perbaikan di sektor mikro dan efisiensi. Akibatnya, putaran roda ekonomi juga relatif lambat dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan.
Situasi yang relatif stagnan itu, jika tidak boleh disebut patologis, diperburuk oleh perilaku partai politik. Secara umum, elite partai telah menjadikan partai politik tidak lebih dari sekadar perahu untuk mencari ikan, khususnya dalam pemilu kepala daerah. Selain itu, banyak partai sepertinya juga terkunci oleh kasus hukum tertentu. Kasus Gayus Tambunan, misalnya, selalu dikonotasikan terkait dengan Partai Golkar, pemberian dana talangan kepada Bank Century dengan Partai Demokrat, dan kasus pemilihan Miranda S Gultom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004 dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Fenomena itu merupakan cermin bening, kebanyakan elite partai mengalami pemiskinan moralitas politik. Mereka memalingkan muka (mlengos) dari makna berpolitik yang sebenarnya, yaitu sebagai tujuan mulia untuk menegakkan perikehidupan dan perikeadilan rakyat menjadi sekadar kepentingan sesaat dan parokial.
Dengan perilaku elite semacam itu, sejatinya kita bertanya mengenai motivasi mereka terjun ke dunia politik. Apakah mereka berpolitik untuk rakyat sebagai sebuah landasan moral? Saya lebih suka mengatakan, mereka berpolitik hanya untuk diri sendiri dan partainya. Hati dan pikiran mereka lepas dari kesadaran, politik adalah wilayah di mana pengabdian dan pengorbanan bagi rakyat mendapatkan tempat tertinggi.
Kiasan batiniah
Miskinnya kesadaran, bahwa hakikat berpolitik adalah pengorbanan, pada kenyataannya tidak hanya melanda anggota legislatif dan eksekutif, tetapi juga menggerus integritas institusi yang lain di semua lini. Partai, dunia usaha, dan pemerintah daerah banyak yang mengikuti arus besar pragmatisme tersebut. Mereka mengagungkan uang sebagai kekuatan demokrasi yang absolut.
Perilaku para elite itu secara otomatis mendorong penyebaran budaya transaksional di tengah masyarakat. Politik uang dan pencitraan yang masif membuat rakyat kehilangan sensitivitas atas hal-hal yang bersifat sinamun ing samudana (kiasan batiniah). Batin rakyat menjadi dangkal dan tidak mampu lagi memaknai karakter pemimpin sejati. Akibatnya, mereka cenderung salah dalam memilih pemimpin.
Oleh sebab itu, untuk kelangsungan hidup bangsa, kini saatnya bagi siapa pun yang masih mencintai Republik untuk duduk bersama menentukan program aksi, termasuk memunculkan tokoh yang mempunyai karakter kuat dan berintegritas, yang paham dan teguh memegang prinsip, berpolitik itu adalah bernegara dan bernegara itu adalah berkonstitusi. Jangan khawatir, Gusti ora sare (Tuhan tidak tidur).
(Sumber: KOMPAS, Selasa, 23 November 2010)