Senin, 31 Januari 2011

Belajar berbicara

Bersama seorang teman, saya menikmati sore hari dengan duduk-duduk sambil mengobrol di kedai kopi. Di mal tentunya. Salah satu obrolan itu begini. Teman saya kesal karena salah satu temannya kalau berbicara selalu berkesan show off. ”Masak doi ngomong gini. Mobil BM gue lagi dipinjem saudara ke Bandung,” jelasnya. ”Emang penting nyebutin merek mobil? Enggak bisa ya kalau bilang gini aja...mobil saya sedang dipinjam saudara ke Bandung? Mang gue peduli mobil doi apa?” ”Gue tahu sih doi mang kaya raya.”
Pohon dan buahnya
Dalam hati saya terpingkal-pingkal. Mereka yang kaya cukup pantas berbicara seperti itu, laaa...saya ini kaya saja tidak, kalau bicara, yaaa...kayak gitu itu. Baru saja saya terpingkal, teman saya nyerocos lagi. ”Mbok enggak usah show off. Kalau nanti ditanya saja baru menjelaskan. Kalau enggak ditanya, biasa aja napa? Emang susah ya kalau ngomong keluar kota aja, enggak usah ke luar negeri? Maksud gue, kalaupun elo ke luar negeri, emang beda rasanya kalau hanya mengucap keluar kota?
Nurani saya langsung menyambar seperti biasa. ”Ya iyalaaaahhhhh...” Tetapi begitulah kenyataan yang ada. Meski saya pikir tak semua orang kalau bicara punya niat show off. Pemikiran itu saya lontarkan kepada teman saya itu. Belum selesai menjelaskan, suaranya menyambar. ”Gini ya, cong...kalau elo tu orangnya rendah hati, kalau niat elo dari lubuk hati yang terdalam emang enggak mau show off, yang keluar yaaa...enggak bakalan sesuatu yang show off. Ngerti?” Saya diam seperti seorang anak kecil yang sedang dimarahi ibunya.
”Liat elo aja. Waktu elo difoto salah satu majalah interior, elo bilang elo pakai kemeja dan kemben di atasnya. Menurut elo, niat elo apa? Pakai baju kayak gitu kalau enggak mau cari sensasi,” katanya lagi. 
Setelah redam emosinya, saya menjelaskan kalau saya itu tak mencari sensasi. Dia meragukan penjelasan itu. ”Ra percoyo aku,” begitu jawabnya singkat. ”Tidak ada pohon yang baik menghasilkan buah yang tidak baik. Tidak ada orang yang katanya punya niat tidak show off, menghasilkan kalimat-kalimat dan perilaku yang show off,” lanjutnya lagi.
Ia tak percaya, kemudian saya bertanya pada diri saya sendiri, apakah saya percaya pada apa yang diucapkan tadi. Bahwa saya tak mencari sensasi? Kalau mau jujur, ada sekian persen memang mau cari sensasi saat saya memadukan kemeja pria dengan kemben. Saya bisa menggunakan alasan, saya manusia kreatif, mau berpikir out of the box. Tetapi nurani sendiri tentu tak bisa saya kibuli.
Mulut dan isinya
Kadang ucapan yang sepertinya show off itu katanya bisa jadi menumbuhkan kepercayaan orang lain atas diri kita. Seperti kalau punya satu toko, beda kesan atau respons yang diberikan kalau punya sekian toko. Secara finansial, mengurusi satu toko sangat tidak efektif dibandingkan punya sekian toko. Ya, meski toko-tokonya itu masih dalam berutang dengan bank. Itu bukan yang hendak saya bicarakan.
Mulut saya sudah lama dikenal dan dianggap jahat, bahkan sampai sekarang ini. Menusuk seperti belati. Kalimat-kalimat yang menghambur keluar dari mulut itu seringkali tak senonoh. Tak dipikirkan terlebih dahulu. Sangat benar, saya ini sering kali nyerocos dulu baru kemudian berpikir akibatnya.
Saya juga manusia yang kalau sudah berbicara lupa berhenti, dan yang paling buruk dari semua itu, saya tidak memberi kesempatan orang memberi respons atau menjelaskan maksud dan isi kepalanya. Singkat cerita, saya ini tidak terlalu peduli dengan apa yang dibicarakan lawan bicara, yang penting tujuan saya tercapai.
Soal menggunakan kalimat atau kata yang tepat, juga tak banyak saya pikirkan. Satu hal lagi yang harus saya latih dalam urusan belajar berbicara adalah bijak memilih waktu yang tepat untuk menyampaikan pesan. Bijak melihat situasi dan memedulikan kondisi orang lain. Saya tak bisa langsung nyerocos kapan saja saya berkehendak. Dulu saya pikir, orang itu kadang sepantasnya memang dicerocosi tak perlu melihat situasi.
Saya salah besar. Menyerocosi itu bukan bertujuan memuaskan kekesalan dan merasa lega sendiri, tetapi membuat orang naik kelas, artinya ia tahu kesalahan dan diperbaiki. Sehingga kelegaan bisa dinikmati oleh dua belah pihak. Maka, katanya tak perlu membuang energi untuk berteriak dan meninggikan suara. Itu melelahkan. Katanya loh.
Dan tentu di atas segala-galanya, isi yang maha penting. Saat mulut mulai ”bernyanyi” itu tak hanya mencerminkan isi, tetapi mencerminkan siapa saya yang sesungguhnya. Yaaa...latar belakang, tingkat kedewasaan, tingkat pendidikan, dan gaya hidup.
Maka akan menjadi aneh bin ajaib kalau nama saya ada mulianya, sementara cara saya berbicara dan isi yang disampaikan jauh dari makna mulia. 
(Sumber : KOMPAS, 23-1-2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.