Sabtu, 19 Februari 2011

Veni, Vidi, Gubrak

Teman wanita saya sudah berpacaran lebih dari tiga tahun, namun tak ada tanda-tanda mau dinikahi. ”Kalau tanya kapan kita ini menikah, terus dia marah dan naik pitam. Omongnya kasar dan sangat emosional.” Ia melanjutkan, ”Aku takut, Mas.”
Saya kalau sudah mendengar cerita macam begini itu gemasnya minta ampun. Bukan dengan pacar lakinya yang mencurigakan itu, tetapi kepada wanita di hadapan saya. Bagaimana ada manusia yang rela lebih dari tiga tahun memiliki hubungan asmara di bawah ketakutan dan mau menjalin cinta dengan seorang manusia yang egois dan abusive?
Cinta macam apa yang tercipta dalam situasi seperti itu? Ini jawabannya sambil mengeluarkan air mata. ”Saya takut kesepian, Mas.” There you go. Kesepian. Atau sejuta masalah yang membuat orang rela dicintai sambil disiksa.

Minggu, 13 Februari 2011

Ada Apa dengan Cinta?

”Tak ada apa-apanya. Yang apa-apa itu kamu. Yaa... kamu.” Begitu selesai menuliskan judul seperti yang Anda baca di atas, nurani saya langsung bersuara mengeluarkan kalimat menuding itu. Padahal, saya lagi bersemangat menuliskan soal cinta, apalagi esok hari manusia sejagad raya merayakan hari kasih sayang.

Senin, 07 Februari 2011

Teman Dekat

Sekitar dua minggu lalu, saya berkumpul dengan teman-teman lama semasa masih bekerja di sebuah majalah wanita. Sekitar dua puluh tahun lalu, masa yang cukup panjang untuk menguji sebuah pertemanan. Pertemuan itu juga dihadiri pemimpin redaksi yang dahulu menjadi atasan sekarang menjadi teman. Kami berkumpul melupakan sejenak aktivitas kantoran, rumahan, dan aktivitas lainnya.

Senin, 31 Januari 2011

Ganti nama

Ada banyak alasan seseorang mengganti namanya. Pada saat saya menjalani transplantasi ginjal di negeri China, selama dua minggu nama saya diganti seperti masyarakat China kebanyakan. Saya lupa nama pemberian sementara itu. Pemberian nama itu gara-gara komputer di rumah sakit itu tak memiliki huruf Latin. Saya cukup senang diberi nama baru. Seingat saya arti nama pemberian itu mengandung makna yang baik.

Belajar berbicara

Bersama seorang teman, saya menikmati sore hari dengan duduk-duduk sambil mengobrol di kedai kopi. Di mal tentunya. Salah satu obrolan itu begini. Teman saya kesal karena salah satu temannya kalau berbicara selalu berkesan show off. ”Masak doi ngomong gini. Mobil BM gue lagi dipinjem saudara ke Bandung,” jelasnya. ”Emang penting nyebutin merek mobil? Enggak bisa ya kalau bilang gini aja...mobil saya sedang dipinjam saudara ke Bandung? Mang gue peduli mobil doi apa?” ”Gue tahu sih doi mang kaya raya.”

2010-2011

Nyaris setiap orang yang saya temui, kira-kira lebih dari tujuh orang, bercerita sambil bermuram durja kalau tahun 2010 yang baru lalu merupakan tahun yang cukup sulit. Tahun yang tidak terlalu nyaman.
Awalnya saya berkeinginan menuliskan kalimat yang indah dan mengusung pesan yang positif di status Facebook menjelang akhir tahun, tetapi saya urungkan niat itu karena sejujurnya tahun lalu bukanlah tahun yang juga terlalu baik buat saya.
Bahwa saya bisa tetap sehat-sehat saja, masih bisa menikmati hidup sampai di penghujung tahun, saya bersyukur karenanya. Tetapi harus saya akui, itu tak senikmat dua tahun lalu. Meski, ada satu teman yang mengatakan kalau target pendapatannya jauh lebih baik dari dua tahun lalu.

Negatif

Baru dua minggu saya dan Anda menjalani tahun baru, menikmati hari-hari baru, setelah menerima sejuta ucapan yang begitu positifnya, begitu cliche-nya, begitu samanya setiap tahun.
Semoga ini dan semoga itu. Supaya hidup penuh dengan kebahagiaan ini dan itu, pokoknya de-es-be, de-es-be. Nah, mungkin Anda jadi kaget kok ujuk-ujuk judul parodi ini malah mengajak untuk memulai tahun dengan berpikir negatif?