Senin, 31 Januari 2011

Negatif

Baru dua minggu saya dan Anda menjalani tahun baru, menikmati hari-hari baru, setelah menerima sejuta ucapan yang begitu positifnya, begitu cliche-nya, begitu samanya setiap tahun.
Semoga ini dan semoga itu. Supaya hidup penuh dengan kebahagiaan ini dan itu, pokoknya de-es-be, de-es-be. Nah, mungkin Anda jadi kaget kok ujuk-ujuk judul parodi ini malah mengajak untuk memulai tahun dengan berpikir negatif?
Dan bukan atau
Sebelum tahun baru tiba, saya menulis di status Facebook dengan kalimat seperti ini: Manusia itu adalah tempat bertemu bukan bersatunya yang hitam dan yang putih. Kalau demikian mengapa manusia itu senang sekali menasihati untuk mengentaskan yang negatif? Bukankah menasihati orang lain untuk tidak negatif adalah yang justru paling negatif?
Maka, status macam begini menuai komentar seperti tsunami. Dua di antaranya berbunyi begini: Yang pertama, ”Lha, itu yang Mas Sam lakukan tiap Minggu! Ha-ha-ha” Yang kedua, ”Jadi parodi mau diganti?”
Membaca dua komentar itu saya kemudian berkaca. Benar juga tampaknya kalau kolom ini justru yang paling negatif karena mengajak orang menghilangkan yang hitam dari sisi putih mereka. Saya sampai malu sekali kalau kalimat di status itu malah menjadi bumerang buat mulut saya yang selalu masuk sekolah, tetapi tak pernah lulus itu.
Suatu hari saya akan berpikir untuk datang ke depan altar agar mulut saya itu didoakan dan bisa lulus. Karena selama ini masalah yang didoakan adalah agar sembuh dari sakit, minta pasangan untuk menghindari kesepian, supaya tambah kaya, supaya tidak berselingkuh lagi, dan supaya mendapat pekerjaan.
Saya belum pernah meminta agar tangan si pendoa yang berdosa itu membekap mulut saya dan mulai mendoakan agar bagian dari raga saya yang satu ini, dan yang paling berbahaya dari semuanya, bisa naik kelas.
Nah, kalau saya sendiri saja tak bisa menghilangkan yang negatif itu, mengapa setiap minggu saya merayu orang untuk menghilangkan yang negatif itu? Saya sampai berpikir adalah sebuah kesalahan besar bahwa rubrik parodi ini merupakan rubrik yang mencerminkan kesempurnaan manusia. Salah. Seharusnya bacaan ini mencerminkan yang sempurna itu. Sempurna itu adalah negatif dan positif. DAN, bukan ATAU. Sempurna itu adalah dua-duanya.
Menjadi bijak
Saya mengajar di kelas-kelas calon menejer sebuah institusi keuangan agar menjadi pemimpin bisa dijadikan panutan. Padahal, saya lupa kalau jadi panutan yaaa... harusnya lengkap. Yang negatif juga, yang positif apalagi. Karena selama mau memanut manusia, yaa... enggak bisa mengambil satu bagian saja.
Bukankah orang yang disebut bijak itu adalah yang bergaul erat dengan keduanya sehingga melakoni hidup dengan tenang tanpa bercita-cita untuk menghilangkan yang negatif? Sering saya dinasihati untuk belajar dari kesalahan orang lain dan kesalahan saya sendiri. Saya juga diajari untuk merasa berbahagia kalau jatuh dalam berbagai pencobaan, katanya itu sebuah ujian iman yang nantinya akan menelurkan ketekunan dan bla-bla-bla.
Nah, kalau begitu adanya, mengapa saya selalu memaksa agar orang selalu benar kalau sebuah kesalahan bisa menjadi sebuah pelajaran? Kalau yang negatif bisa berdampak begitu positifnya?
Karena kebiasaan memanut satu sisi itulah, saya sering kecewa melihat orang. Apalagi, kalau seseorang yang saya panuti bisa begitu negatifnya dan mengecewakan. Maka, secepat kilat mulut saya bernyanyi tanpa diminta. ”Kamu tidak bermoral. Dasar tak bisa dipercaya.” Gobloknya saya, sering lupa kalau manusia adalah makhluk yang paling susah dipercaya. Itu mengapa sejak kecil, saya diajarkan hanya untuk memercayai yang Maha Pencipta itu.
Saya bukan deodoran yang bisa setia di setiap saat. Saya tak bisa diharapkan untuk menghilangkan kenegatifan. Kalau saya berteriak karena kesal, kalau saya merasa terancam ada manusia baru di kantor, kalau saya jadi bos yang menyakitkan, kalau saya iri, takut, sok suci, sok tahu, mudah melihat borok orang dan susah melihat borok sendiri, tidak percaya diri, suka bohong, melempar batu sembunyi tangan, tidak menjadi pendengar yang baik dan hanya mau didengarkan saja, kalau saya mengancam orang, kalau saya flirting, kalau saya merasa hidup itu tidak adil, kalau saya tak bisa berprestasi sepanjang tahun 2011, itu adalah sisi minus saya.
Seorang teman pernah berkomentar. ”Gak papa-lah itu wajar kok punya sisi minus. Namanya juga manusia.” Benarkah demikian? Kalau seandainya itu wajar, mengapa saya selalu menghakimi dan menganggap tidak benar yang katanya wajar itu? Jadi, manakah yang wajar? Selalu benar, selalu salah, atau kadang benar kadang salah?
Kalau Sang Khalik saja disebut Maha Pengampun saya mengartikannya karena Ia mengerti ciptaannya yang sempurna itu. Saya sebagai ciptaannya malah berniat untuk menjadikannya tidak sempurna. 
(Sumber: KOMPAS,  9-1-2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.