Senin, 31 Januari 2011

Kado

Saya menikmati akhir tahun dengan menghujani diri sendiri dengan hadiah Natal dan hadiah Tahun Baru. Akhir tahun itu buat saya selalu memiliki suasana yang berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Saya lebih memanjakan diri dengan membeli ini dan itu. Ada saja alasan untuk membeli semuanya.... Alasan paling lebay adalah mau memberi penghargaan kepada diri sendiri setelah menjalani aktivitas selama satu tahun dengan segala gejolaknya.
Nah, cerita yang mau saya sampaikan adalah saat nurani saya bilang begini. ”Emang sana prestasinya apa, sampai beli-beli kado segala?” Saya kesal sekali kalau nurani saya bicara pada saat saya tak membutuhkannya.
Evaluasi
Dengan suara mengganggu itu, saya mulai memikirkan cara untuk membungkam nurani itu. Satu-satu caranya adalah lewat evaluasi tahunan. Secara garis besar saya ini berprestasi dalam dua hal. Pertama berbohong. Kedua berselingkuh. Dengan hasil evaluasi ini, nurani saya benar bahwa saya belum pantas mendapatkan hadiah-hadiah itu.
Kalau sedang dilanda rasa malas, saya mudah sekali mencari alasan. Sakit kek, mendadak dipanggil klien kek, dan sejuta kek lainnya. Tetapi, saya juga berbohong kepada banyak orang. Banyak orang yang mengatakan bahwa saya ini mencintai Tuhan dengan luar biasa. Beberapa tahun lalu saya menerima penghargaan dan terukir di dalam penghargaan itu, kata The Conqueror. Sang Penakluk. Penakluk segala rupa, hawa nafsu dan hawa lainnya. Nafsu jahat dan nafsu baik.
Saya bohong. Mereka tak pernah tahu kalau setelah saya menjadi begitu mulianya, saya malah melakukan yang begini dan begitu, yang jauh dari mulia itu. Maka, kalau saya katakan ada orang yang sakit jiwa dengan dua kepribadian, saya adalah orangnya.
Dalam pekerjaan, saya tidak berprestasi mengajak klien-klien saya naik kelas. Rasanya hebat punya banyak klien, tetapi saya tak konsentrasi penuh kepada setiap klien. Bagaimana mau membuat usulan yang menarik, la wong satu hari hanya dua puluh empat jam. Dikurangi tetek dan bengek, tersisa hanya tiga belas jam.
Jadi, kalau tiga belas jam dibagi klien yang jumlahnya katakan saja hanya enam, maka satu klien hanya mendapat jatah perhatian dua jam saja. Bayangkan kalau punya klien lebih dari enam. Strategi apa yang bisa saya lakukan untuk klien saya kalau mikirnya saja hanya sesingkat itu dan dengan konsentrasi yang mencapai separuh saja tidak.
Bola salju
Kedua, saya masih suka berselingkuh. Belakangan saya jatuh cinta sama pacar teman saya. Duh... saya sampai bingung. Saya tak tahu apakah gayung bersambut apa tidak, yang jelas sayanya yang jatuh cinta. Sampai saya minta nasihat orang lain dengan menge-tweet problem saya ini. Dan sejuta usulan yang saya dapatkan. Dari yang menyarankan untuk tidak meneruskan rasa cinta itu sampai yang mengusulkan. ”Hajar aja, Mas.”
Problem ini saya sampaikan juga kepada Sang Pemberi rasa cinta itu, kok saya ditempatkan dalam kondisi macam begini. Saya belum dapat balasannya, tetapi setan sudah lebih dahulu bersuara. ”Ya ndak apa-apa. La wong masih pacaran?”
Di tengah saya sedang menulis artikel ini, seorang asisten desainer Indonesia mengirimkan cerita di bawah ini. Ia juga mendapatkannya dari seorang teman dan memutuskan untuk mengirimkan kepada saya. Dan saya merasa perlu meneruskannya dalam tulisan ini karena capture-nya akan lebih banyak ketimbang melalui BBM, bukan? Begini ceritanya.
Seorang pemuda berangkat kerja pada pagi hari dengan menggunakan taksi. ”Selamat pagi Pak,” katanya menyapa sang sopir taksi. ”Pagi yang cerah bukan?” sambungnya sambil tersenyum. Tiba di tujuan, pemuda itu membayar dengan selembar dua puluh ribuan, untuk argo yang hampir lima belas ribu. ”Kembaliannya buat Bapak saja. Selamat bekerja Pak,” kata pemuda dengan senyum.
”Terima kasih,” jawab Pak Sopir. ”Wah... aku bisa sarapan dulu nih,” lanjutnya lagi. Dan ia pun menuju ke sebuah warung langganannya. ”Biasa Pak?” tanya si Mbok pemilik warung. ”Iya biasa, nasi sayur, tapi kali ini tambahkan sepotong ayam,” jawab Pak Sopir dengan tersenyum.
Ketika membayar, ia memberi tambahan seribu rupiah. ”Buat jajan anaknya si Mbok,” begitu katanya. Dengan tambahan uang jajan seribu, pagi itu anak si Mbok berangkat ke sekolah dengan senyum lebih lebar. Ia bisa membeli dua roti pagi itu dan diberikannya kepada temannya yang tidak punya bekal. Begitulah, perbuatan baik itu bisa berlanjut. Bergulir seperti bola salju.
Setelah membaca cerita itu, saya bertanya, apakah benar saya layak menerima kado, sementara yang saya gulirkan hanya sebuah bola salju yang menabrak dan menghancurkan hidup orang lain meski yang penting saya bahagia dan sukses? Bahkan, dalam situasi tertentu, saya malah tak meneruskannya sampai menjadi bola salju karena terlalu penuh perhitungan soal untung dan rugi.
”Yaaah... mau diapain lagi. Orang kayak elo emang enggak sempurna. Penuh kekurangan. Kurang ajar, maksudnya.” Nurani saya bersuara lantang, seperti suara gemuruh saat tim nasional mencetak gol ke gawang Filipina di ajang AFF. 
(Sumber: KOMPAS, 2-1-2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.