Senin, 07 Februari 2011

Teman Dekat

Sekitar dua minggu lalu, saya berkumpul dengan teman-teman lama semasa masih bekerja di sebuah majalah wanita. Sekitar dua puluh tahun lalu, masa yang cukup panjang untuk menguji sebuah pertemanan. Pertemuan itu juga dihadiri pemimpin redaksi yang dahulu menjadi atasan sekarang menjadi teman. Kami berkumpul melupakan sejenak aktivitas kantoran, rumahan, dan aktivitas lainnya.
Muda dan kemudian tua
Tak bisa dimungkiri kami semakin tua. Kerut wajah yang tak bisa diabaikan, perut yang makin membuncit, meski satu di antara kami yang kurus dan langsingnya masih bisa dipertahankan setelah puluhan tahun lalu. Teman kami yang satu ini saat hamil pun tak mengalami perubahan berat badan yang berarti. Bahkan, setelah melahirkan, tubuhnya kembali seperti sediakala.
Pertemuan sore itu merupakan pertemuan yang setelah sekian lama dijanjikan baru dapat terlaksana. Kami duduk berenam di sebuah rumah makan bermenu makanan Bali dengan pemandangan kota Jakarta sore yang padat merayap. Kami memesan menu tanpa ada yang berteriak saya sedang diet, meski dari enam manusia yang melepas rindu itu, hanya dua yang memesan nasi karena alasan kalau malam tak makan nasi, perut keroncongan dan tak bisa tidur.
Sejuta cerita keluar dari mulut kami masing-masing. Pertemuan itu membuat saya seperti sedang melihat film lawas perjalanan hidup manusia. Sangat menyenangkan melihat kalau kami semua bisa dikatakan sukses di perjalanan yang sekian puluh tahun itu, baik dalam pekerjaan, perkawinan, mendidik anak, maupun kelajangan.
Pertemuan itu adalah sesi curhat tanpa suami, istri, dan anak. Pada saat itu saya pikir, kalaupun saya memiliki pasangan hidup yang mencintai, anak yang tumbuh sehat, dan sejuta teman, pertemanan yang mirip saudara itu sungguh memberi nilai tersendiri. Curhat dengan manusia yang mengenal saya puluhan tahun, bahkan lebih lama daripada usia perkawinan, berbeda rasanya.
Pertemuan yang penuh gelak tawa juga kadang ditimpali wajah serius saat mendengar cerita saat salah satu teman kami yang terkena kanker payudara. Saya bisa membayangkan perasaan itu, mirip saat saya harus menerima bahwa ginjal saya gagal berfungsi dan harus menanggung risiko yang sejuta banyaknya.
Pertemanan > Perkawinan
Setelah mengobrol nyaris dua jam lamanya, dan setelah menghadiri acara pembukaan sebuah rumah makan yang dihadiri setelah acara reuni itu, saya pulang ke rumah dengan hati yang bergembira. Saya merasa terhibur sebagai lajang. Pertemuan seperti itu membuat saya seperti tak sendiri. Maka, di saat itulah saya mengerti arti dari sebuah pertemanan.
Bukan hanya karena saya merasa terhibur karena saya tak sendiri, tetapi belajar untuk menerima setiap orang dengan apa adanya. Itu salah satu rahasia yang membuat tali pertemanan itu tak pernah luntur dan kemudian putus di tengah jalan. Kami memang tak sering bertemu, tetapi malam itu kami sepakat untuk selalu hadir dan menyediakan waktu untuk bertemu satu bulan sekali.
Mengapa pertemuan macam ini diperlukan? Bukan sekadar mau menggosip, bukan hanya ingin mencari peluang bisnis, atau hanya sekadar mau melepas rindu, tetapi belajar melatih menjadi manusia yang lebih toleran. Menyediakan waktu, misalnya. Saya sampai bertanya sudah berapa lama saya tak bisa menyediakan waktu untuk orang lain, untuk orang yang tidak memberi saya apa-apa? Karena selama ini, saya selalu menyediakan waktu bagi mereka yang bisa membuat pemasukan saya makin besar.
Kapan terakhir saya memberi telinga yang diberikan Sang Pencipta untuk mendengar cerita riang gembira atau yang membuat dahi berkerut dan jantung berdetak kencang sehingga seseorang itu bisa merasa kalau perasaan hatinya bisa tersalurkan? Kapan terakhir lubang telinga saya bisa berfungsi dengan baik sehingga seseorang mampu melepaskan tekanan batinnya meski sejenak saja?
Malam itu saya belajar, saya tak bisa menjadi begitu egoisnya untuk tidak bisa hadir atau tidak menyediakan waktu yang hanya satu bulan sekali itu. Kalau saya menjadi begitu bahagia, itu karena mereka memutuskan menyediakan waktu di tengah Jakarta yang begitu macetnya, di tengah sejuta tetek bengek yang mereka hadapi. Maka, giliran saya untuk berpikir memasukkan jadwal pertemuan bulan depan ke dalam agenda. Tak ada alasan apa pun, kecuali saya game over.
Pertemanan itu adalah sebuah pusat pelatihan untuk mengerti sesama manusia, sebagai pusat kesabaran untuk melatih mendengar, dan pusat kebugaran jiwa karena selain bisa tertawa terbahak dengan kekasih hati, saya bisa tertawa tergelak dengan teman yang jauh lebih dahulu mengenal saya sebelum mengenal kekasih hati.
Maka, hidup itu akan selalu menjadi begitu menyenangkan kalau saya memiliki teman, terutama teman yang seperti sebuah perjanjian pernikahan. Setia sampai mati. Bersama berduka, bersama bersuka. 
KOMPAS, 6/2/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.