Sabtu, 19 Februari 2011

Veni, Vidi, Gubrak

Teman wanita saya sudah berpacaran lebih dari tiga tahun, namun tak ada tanda-tanda mau dinikahi. ”Kalau tanya kapan kita ini menikah, terus dia marah dan naik pitam. Omongnya kasar dan sangat emosional.” Ia melanjutkan, ”Aku takut, Mas.”
Saya kalau sudah mendengar cerita macam begini itu gemasnya minta ampun. Bukan dengan pacar lakinya yang mencurigakan itu, tetapi kepada wanita di hadapan saya. Bagaimana ada manusia yang rela lebih dari tiga tahun memiliki hubungan asmara di bawah ketakutan dan mau menjalin cinta dengan seorang manusia yang egois dan abusive?
Cinta macam apa yang tercipta dalam situasi seperti itu? Ini jawabannya sambil mengeluarkan air mata. ”Saya takut kesepian, Mas.” There you go. Kesepian. Atau sejuta masalah yang membuat orang rela dicintai sambil disiksa.
Cerita berikutnya seorang wanita sudah menikah berpuluh tahun lamanya dan sudah lama sekali saya tak berjumpa dengannya. Pada suatu sore kami bertemu di sebuah pesta mungil untuk kalangan terbatas. Terbatas kekayaannya, maksudnya. Saya kaget melihatnya. Di usia yang nyaris lima puluh tahun ia masih begitu menawan. Meski kulit matanya berkerut, tetapi raganya meliuk seperti jalan ke Bandung melalui puncak. Kalau lewat Cikampek, jalannya lurus.
Ketika saya tanya kabarnya, kalimat ini yang meluncur dari bibirnya yang mungil. ”Tidak ada kebahagiaan seperti sekarang ini. I’m so happy... sooooo... very happy after the divorce.”
Divorce? Setelah puluhan tahun? Sore itu diam saja saya bingung. Sejujurnya saya ingin mengorek, tetapi aneh kenapa itu tak terjadi. Padahal saya ini wartawan. Investigasi adalah bagian hidup saya sehari-hari.
Saya baru tahu alasan ia bercerai malah dari orang lain kalau suaminya sangat abusive. Tidak memukul, tetapi kata-kata yang keluar dari mulutnya penuh penghinaan, melecehkan kemampuan. Jadi bertahun lamanya teman wanita saya tersiksa karenanya. Sangat bisa dimengerti kalau sekarang ia bisa berucap sooooo very happy.
Saya jadi teringat seorang klien wanita waktu saya masih bekerja sebagai asisten perancang mode. Hanya untuk memadukan aksesori untuk pakaian yang hendak dikenakan, ia harus meminta pendapat suaminya. Awalnya saya pikir mereka adalah pasangan yang sangat menghargai, pada akhirnya saya tahu, suaminya mirip dengan kasus kedua. ”Kalungnya kayaknya kalung anjing.”
Kemungkinan ”Vici”
Saya sering kali hanya jatuh cinta semata. Saya tak berpikir jauh apakah yang saya cintai memiliki kualitas yang bisa dipertanggungjawabkan. Ganteng, cantik, keturunan orang kaya raya, atau memang kaya raya, berpendidikan tinggi selalu ditempatkan di butir pertama dengan bobot yang paling besar.
Pembobotan itu dilakukan baik oleh saya yang menjalankan dan orangtua yang melihat oh... anakku bakal enggak sengsara. Belum lagi yang kadang ”menjual” anaknya untuk sebuah situasi tertentu. Katanya, nenek saya dan ayah saya dijodohkan. Ia bahkan tak tahu siapa lelaki yang dinikahinya di hari perkawinannya.
Terus bagaimana saya bisa tahu kalau yang saya cintai tak memberi penderitaan? Saya terbiasa untuk tidak melangkah sejak awal dengan melaporkan pada Sang Pencipta soal siapa yang saya cintai. Melapor pada yang tak terlihat itu. Saya hanya melapor pada yang terlihat, yang sama-sama emosionalnya, yang otak dan pandangannya sangat terbatas.
Saya pikir saya bisa tahu manusia dengan segala misterinya. Saya lupa bahwa yang tak terlihat yang tahu segalanya. Ia tahu sejak manusia dijadikan, termasuk calon pasangan saya.
Karena keseringan pakai otak sendiri, maka selalu menyesal dan mencari yang tak terlihat setelah ada di tengah badai. Bisa jadi, saya senang berada di tengah badai karena saya tak kesepian.
Lucunya dalam keadaan penuh problema dan jalan buntu, saya baru melapor pada yang tak terlihat itu dan baru memercayai Ia Maha segalanya. Nah, kalau saya percaya yang tak terlihat itu Maha, seharusnya hidup saya ini juga Maha, bukan? ”Lah... elo ngelapor-nya juga sak enak udelnya sendiri. Gimana mau dapat hasil Maha?” kata nurani saya. Itu mengapa perjalanan cinta dan hidup saya cuma begini. Veni, Vidi, Gubraaak.... Veni, Vidi, Gubraak lagi... enggak pernah Vici.
Maka mencintai itu seyogianya diawali kepada yang tak terlihat, kemudian baru yang terlihat. Karena pagi ini Anda dan saya bisa bangun dan membaca koran ini, itu karena kemurahan yang tak terlihat itu, bukan karena hebatnya Anda dan saya bisa membangunkan diri sendiri.
KOMPAS, 20/02/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.