Minggu, 13 Februari 2011

Ada Apa dengan Cinta?

”Tak ada apa-apanya. Yang apa-apa itu kamu. Yaa... kamu.” Begitu selesai menuliskan judul seperti yang Anda baca di atas, nurani saya langsung bersuara mengeluarkan kalimat menuding itu. Padahal, saya lagi bersemangat menuliskan soal cinta, apalagi esok hari manusia sejagad raya merayakan hari kasih sayang.
Hormati
Di twitter ada yang bilang begini. ”Mas nulis soal cinta dong. Mas paling bisa tu kalau udah nulis yang satu ini.” Saya bingung. Jam terbang yang tinggi dalam soal cinta itu tak selalu membuat seseorang menjadi ahli.
Menulis itu bisa dimanipulasi. Bisa dibuat sebaik mungkin, bisa dibuat supaya penulisnya seperti seorang ahli, atau seprovokatif mungkin. Tergantung apa yang dikehendaki. Tapi pada kenyataannya, belum tentu seperti yang dituliskan. Jadi saya ini cumanya bisa ngeritik melulu, tapi disuruh menjalani nanti dulu.
Beberapa hari setelah itu, saya diwawancarai sebuah stasiun tivi dan bicara soal cinta. Wawancara itu akan ditayangkan pada program yang membidik penonton laki-laki. Saya katakan, hari kasih sayang itu kalau mau disambut dengan pakai baju pink, terus makan yang romantis, yaa... enggak masalah. Tapi buat saya yang lebih penting, hari itu dijadikan sebuah momen untuk membuktikan bahwa kasih sayang itu harus diwujudkan secara nyata dengan memberi penghormatan kepada pasangan.
Karena program tivi di atas untuk laki-laki, yaaa... perayaan hari istimewa itu harusnya digunakan sebagai wake-up call, apakah laki-laki sudah menghormati wanita sebagai pasangan dan akan menghormatinya setelah berlalunya hari kasih sayang itu? Kemudian saya bicara lagi, kalau laki-laki itu suka mukul karena memang punya bakat, mbok jangan pasangannya yang jadi sasarannya. Benahi diri dulu, baru memulai sebuah hubungan.
Saya ini kalau mau menjalin sebuah hubungan, ogah diperlakukan sama dengan balai keselamatan dan menolong supaya pasangan saya sembuh. Saya mau memulai hubungan dengan situasi yang sehat. Itu bukan karena saya pengecut tak mau menanggung risiko. Saya mau menanggung risiko setelah berhubungan, bukan menanggung risiko sebelum berhubungan.
Laki-laki itu seyogianya menghormati wanita dalam keadaan apa pun. Karena tak pernah ada berita kalau laki-laki bisa lahir dari laki-laki. Jadi kalau tidak ada wanita di dunia ini, dan kalau pun ada wanita, tetapi wanitanya mengatakan saya tak mau melahirkan, yaaa... maaf-maaf saja, tak ada laki-laki di dunia ini. Gitu kok berani kurang ajar sama yang ”memberi” peluang untuk ada di dunia ini.
Ingusan
Setelah dua kejadian di atas, seorang muda belia datang pada saya dan menyatakan ia ingin menjadi pasangan yang abadi dengan saya. Saya tertawa terpingkal-pingkal. Bukan karena saya tak menghormatinya, saya hanya mikir, la wong masih umur dua puluhan kok berani mati menawarkan hidup abadi sama manusia yang kesetiaannya saja masih perlu diuji ulang.
Saya ceritakan kepada teman-teman soal ini. Mereka bukan hanya tertawa, tetapi juga berkomentar, ”Hare geneeee mau setiaaa....jedukin kepala sana.” Saya yang jadi berpikir, benarkah hari begini kesetiaan itu memang makin luntur dan tak perlu diperjuangkan? Apakah menjadi ciri sebuah gaya hidup masa kini dan hidup yang terdepan kalau menyerah di tengah jalan dengan alasan: ”Abis kalau enggak cinta lagi mau ngapain?”
Sebuah leluconkah kalau di tengah kelunturan itu masih ada cinta yang mau ditawarkan dengan kondisi yang begitu menarik dan seperti mimpi? Saya malah menertawai sebuah cinta yang sejati hanya karena kondisi sekarang ini lebih enak tak setia, tidak menghargai pasangan, tak tahan mengarungi laut duka atau suka. Sehingga saya malah berpikir untuk mencurigai yang bisa setia itu. Menilai bahwa itu tak punya bobot. Aneh, bukan?
Maka benarlah lingkungan di mana saya berada, menjadikan siapa saya ini. Karena kebanyakan melihat yang tidak setia, maka yang setia saya anggap keliru dan membuang energi. Jadi ada apa dengan cinta?
Benar kata nurani saya. Cinta mah tak ada apa-apanya kalau enggak diapa-apakan. Masalahnya saya yang senangnya mengobok-obok cinta itu, termasuk mau mati seperti cerita Mbak Juliet dan Mas Romeo. Saya bertanya kemudian. Bagaimana rasa cinta bisa memberi ide untuk membunuh? Bagaimana mungkin?
Ternyata mungkin. Sama seperti saya selalu mengatakan cinta pada Sang Pencipta, tetapi pada waktu bersamaan saya melukai-Nya. Sebagai manusia manipulatif, saya langsung membela diri: ”Itu mengapa saya disebut manusia. Bisa melukai karena mencintai.”
Sumber: KOMPAS, 13/03/2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.